Catatan Aulia Tasman: Mengapa Raja Minangkabau “Yang Melantik” Depati Rencong Telang


Aulia Tasman Gelar Depati Muara Langkap.Foto-Ist

MENGAPA RAJA MINANGKABAU ”YANG MELANTIK” DEPATI RENCONG TELANG – 3)

PERTANYAAN MASYARAKAT SEKITAR “KENDURI SKO PULAU SANGKAR” YANG TERSISA:

Pertama : Kenapa masyarakat Pulau Sangkar tiba-tiba mengadakan Kenduri Sko padahal sudah 84 tahun mereka tidak melakukan kenduri sko? (MALPU 292)
Kedua : Bagaimana Hubungan Antara Minangkabau Dengan Pulau Sangkar? (MALPU 293)
Ketiga : Mengapa Tidak Ada Pelantikan Depati Rencong Telang? (MALPU 294)
Catatan sebelum menjawab pertanyaan ketiga:

Ada seorang mahasiswa yang berlatar belakang program studi eksakta (mungkin fisika atau kimia) yang “menganggap dirinya mengetahui benar sejarah Kerinci?” sehingga memprotes keras bahwa sumber rujukan sejarah yang diungkapkan dalam MALPU 293 tidak benar, dan menurut dia harus dicari rujukan sejarah Kerinci yang benar!!!
Pertanyaanya “apakah memang ada Buku Sejarah Kerinci yang sudah disepakati? Jawabannya: sampai sekarang belum ditemukan Buku Sejarah Kerinci yang betul-betul disepakati, yang ada hanya penggalan-penggalan sejarah yang dikutip dari beberapa ahli sejarah yang menulis tentang Kerinci masa lalu. Jangankan sejarah Kerinci, asal kata “Kerinci” itu sendiri belum ada kesepakatan sampai sekarang. Demikian pula kapan awalnya kata “Kerinci” disebutkan? Siapa yang pertama menyebutkan? Semuanya masih kabur beluma ada kesepakatan. Apalagi kalau ditanyakan mengenai runtutan sejarahnya, masih belum ada kesepakatan antar ahli sejarah.

Coba perhatikan rujukan yang dikutip adalah berasal dari penulis dan peneliti sejarah terkenal di lingkungan Masyarakat Minangkabau, dia adalah seorang pemerhati sejarah Minangkabau telah lama sekali, mungkin “mahasiswa yang mengkritik” tulisan beliau ini belum lahir, atau mungkin orang tua mahasiswa itu sendiri belum lahir. Bak kata orang adat “baru picak satepih sudah dilayangkan, baru bulat sagiling sudah digulingkan”, baru panjang sekilan sudah ndak melilit, baru gedang seujung ndak melando’. Artinya baru tahu sedikit sudah menyomnongkan diri, baru belajar sedikit sudah menganggap diri paling tahu dan benar. penulis yang bernama Emral Djamal Dt. Raja Batuah sudah membaolak-balik lembaran sejarah sehubungan dengan serajah Minangkabau, sejarah Melayu dan hubungan-hubungan dengan daerah-daerah lain. Beliau sudah menjadi banyak nara sumber utama dalam diskusi atau seminar mengenai sejarah Minangkabau dan Perkembangan Kebudayaan di Minangkabau dan Melayu umumnya. Karena admin MALPU yang mengutip tulisan beliau, maka admin perlu meluruskan dan membala tulisan yang dibuat oleh beliau, benar atau salah tergantung sejauh mana kita mempunyai kajian dan rujukan yang mampu mementahkan tulisan beliau.

Perlu diketahui bahwa tulisan dan kajian beliau tentang Kerajaan/Kesultanan Indrapura disajikan dalam tulisan yang dimulai dari kata “Menelusuri ……” Artinya, untuk menelusuri sejarah Kerajaan/Kesultanan Indrapura yang berada di Pesisir Selatan – Sumatera Barat tentu tidaklah mudah, dan beliau juga belum menemukan Sejarah Minangkabau yang benar sehingga harus mencari sebanyak mungkin rujukan sejarah agar tersusun tulisan tersebut. Coba perhatikan lampiran 3 (tiga) slide yang ditampilkan, beliau tidak main-main sehingga harus membaca 56 buah buku dan tulisan rujukan dengan 97 kutipan. Ini bukan pekerjaan main-main dan tentu dilakukan dengan serius sepenuh hati demi terungkapnya tabir sejarah negerinya sediri dan negeri-negeri yang berhubungan dengan Minangkabau. Setelah membolak-balik tulisan yang ada dari rujukan-rujukan tersebut sehingga tersusunlah tulisan beliau yang berjudul ““Menelusuri Jejak Sejarah Dan Salasilah Kerajaan Usali Kesultanan Indrapura Di Pesisir Selatan – Sumatera Barat.”

Oleh sebab itulah makanya dalam kajian MALPU 293, salah satu sumber rujukan yang menguraikan tentahn hubungan Kerajajaan/Kesultanan Indrapura (Minangkabau) dengan Pulau Sangkar khususnya dan Kerinci Umumnya ditampilkan dalam bentuk “utuh”, walaupun ada sedikit penggalan dihapus karena tidak berhungan dengan pertanyaan kedua mengenai “MENGAPA RAJA MINANGKABAU ”YANG MELANTIK” DEPATI RENCONG TELANG” pada waktu Kenduri Sko Pulau Sangkar 5 September 2017 .
Sampai sekarang ini, walaupun punya puluhan rujukan sejarah dan sudah membaca puluhan sumber bacaran admin MALPU mengenai sejarah Minangkabau, Indrapura, Kerinci, Bengkulu dan Jambi, belum satupun rujukan menguraikan hubungan antara Minangkabau dengan Pulau Sangkar kecuali tulisan dari bapak Emral Djamal Dtk Rajo Mudo. Benar atau tidak kaitanya, terpulang dari pembaca menema atau tidak, membenarkan atau tidak tentang telusuran beliau sehubungan dengan topik yang sedang dibahas. Kecuali kalau ada pembaca mempunyai rujukan lain berkenan dengan itu, maka admin MALPU sangat berterima kasih karena telah membantu menjawab pertanyaan masyarakat tentang pertanyaan No. 2 tersebut di atas.

Si mahasiswa tersebut juga memperanyakan keabsahan silsilah yang disalin dari rujuan itu tidak sesusai dengan kenyataan sejarah, bahwa di Alam Kerinci terdapat periode sejarah khususnya setelah abad masehi yaitu Zaman Sigindo ke Zaman Pamuncak dan terakhir ke Zaman Depati.
Pertayaannya apa memang ada rujukan yang jelas tentang pertukaran zaman tersebut serentak berlaku di Alam Kerinci. Apakah betuk perubahan tersebut? Sebagai contoh disebutkan bahwa Sigindo Sigarinting (Batinting) menurut tulisan bapak Emral Djamal berada pada masa abad ke 16 masehi padahal menurutnya beliau itu ada pada zaman abad ke 13 atau 14 masehi, karena menurutnya Zaman Depati sudah ada pada waktu Kitab Undang-undang Tanjung Tanah (KUTT) ditulis pada abad ke 14 masehi.

Kalau benar Agama Islam masuk ke Alam Kerinci pada abad ke 15/16 masehi dengan ditandai oleh kedatangan ”Delapan Siyak” ke Kerinci untuk menyebarkan Agama Islam, sebut saja Siyak Lengih, Siyak Raja dan lain-lain adalah keturunan dari Dinasti Machudum dan Tuan Kadhi di Padang Gantiang yang menyebarkan Agama Islam secara massif di Minangkabau dan sekitarnya pada mulai abad ke 15 masehi maka KUTT itu juga tidak benar ditulis abad ke 14 masehi, karena penulisnya adalah Depati Kuja Ali. Nama Kuja Ali yang menurut Uli Kozok (2006) adalah penulis KUTT yang diundang langsung oleh Raja Dharmasraya karena dia dianggap cakap untuk menulis, seperti namanya terdapat pada halaman 29 lebih banyak berbau ”Islam” dan sudah ada depati pada zaman Kerajaan Dharmasraya masih ada sebelum dipindahkan ke Suruaso oleh Adityawarman menjadi raja Melayupura tahun 1347 s.d 1377 masehi.

Pada hal Kerajaan Melayupura yang dipimpin oleh Adityawarman adalah penggabungan dari Kerajaan Dharmasraya (Melayu Jambi) dengan Kerajaan Minangkabau.
Kalau Siyak Lengih hadir pada waktu Perjanjian Bukit Sitinjau Laut tahun 1022 H (tahun 1612 Masehi), dan kalau dianggap penyebaran Agama Islam ke Alam Kerinci dengan kehadiran ”Para Siyak”, maka Depati Kuja Ali menulis KUTT itu seharusnya setelah Islam masuk ke Kerinci pada paling cepat abad ke 15 masehi tidak ditulis ada abad ke 14 masehi. Atau menang ditulis pada zaman Dharmasraya setelah masa Adityawarman, yaitu sesudah masa pemerintahan anaknya Ananggawarman menjadi raja Kerajaan Melayupura tahun 1377 s.d 1417 masehi dan Agama Islam mulai masuk ke Alam Minangkabau apda abad ke 15 masehi. Setelah itu Kerajaan Melayupura mengalami kemunduran dan akhirnya pecah kembali, paling kurang untuk wilayah intinya menjadi dua yaitu munculnya Kerajaan Pagaruyung (Minangkabau) dan munculnya kembali Kerajaan Dharmasraya. Mungkinkah KUTT itu ditulis pada zaman Kerajaan Dharmaraya II abad ke 15/16 masehi bukan periode I? Sampai sekarang belum ditemukan ada rujukan yang menjelaskan tentang hal itu.

Disamping itu, katannya Zaman Sigindo itu mulai dari abad ke 7 masehi, pertanyaannya siapa-siapa saja yang memerintah pada abad-abad selanjutnya, sehingga yang mempunyai rujukan hanya nama-nama sigindo yang terakhir, sebut saja Sigindo Sigarinting, Sigindo Bauk, dan lain-lain disbutkan dalam tulisan Emral Djamal tidak dinyatakan kehadiran mereka sebelum abad ke 14 masehi. Sebab masih banyak sigindo-sigindo lain yang masih menjadi pimpinan dusun atau beberapa dusun yang masih ada sampai dengan abad ke 16 masehi, padahal depati sudah ada pada zaman sebelumnya. Kalaulah benar KUTT seperti yang dinyatakan Uli Kozok setelah melakukan uji karbon terhadap ketuaan media tulis KUTT yang berkesimpulan bahwa KUTT ditulis pada abad ke 14 masehi. Atau mungkin ’uji karbon’ itu hanya menyebutkan ’kira-kira’ kejadiannya pada abad tersebut, dan saya yakin ’uji karbon’ itu menghasilkan rentang waktu bakan waktu yang tepat (persis), mungkin menghasilkan rentang watku ”abad ke 14 s.d abab 16 masehi’ karena tidak mungkin uji karbon tersebut mampu menetapkan tahun kejadian secara pasti.

Oleh sebab itu, kehadiran sigindo di Alam Kerinci tidak seragam antar daerah. Ada yang hadir sampai abad ke 16 barulah berganti dengan zaman depati, ada pula yang berakhir lebih cepat – mungkin sampai abad ke 14/15 masehi kemudian beralih ke zaman depati. Ada pula perubahan dari Zaman Sigindo ke Zaman Pamuncak dan kemudian baru Zaman Depati. Ada pula sebagian dusun yang tidak mempunyai zaman sigindo, langsung ke zaman Depati, dan lain-lain, jadi beragam antar wilayah di Alam Kerinci. Sampai sekarang belum ditemukan rujukan sejarah yang meyakinkan tentang perubahan zaman di Alam Kerinci yang disepakati oleh ahli sejarah.
Ada pula pengamat sejarah Kerinci yang mengatakan bahwa untuk mengurai dan membukukan sejarah Kerinci sebaiknya menggunakan sumber dari Tulisan Incong Kerinci saja karena dianggap tulisan “asli orang Kerinci” saman dahulu, bahkan ada yang mengatakan ditulis sebelum Islam masuk ke Kerinci atau tepatnya pada Zaman Sigindo. Tulisan Incong Kerinci itupun punya banyak kelemahan, kelemahan-kelemahannya antara lain:

1. Tidak ditemukan satupun “penulis” tulisan incong tersebut;
2. Aksara Incong Kerinci tidak mempunyai abjat angka sehingga tidak satupun tulisan incong yang menerangkan tentang kapan tulisan itu dibuat;
3. Tidak satupun tulisan incong Kerinci yang menulis rujukan sumber sejarahnya.
4. Tulisan incong Kerinci sebagian besar hanya berupa silsilah keturunan nenek moyang suatu kelompok masyarakat/suatu wilayah tempat nenek moyang mereka bermukim, dan tidak menguraikan silsilak keluarga wilayah lain yang letaknya berjauhan.
5. Belum satupun tulisan incong yang ditemukan ditulis sebelum Islam masuk ke Kerinci, semua yang sudah dipublikasikan secara umum ditulis oleh beberapa generasi setelah Islam masuk ke Kerinci.
6. Banyak pertentangan informasi dalam tulisan incong antara tulisan yang disimpan oleh suatu wilayah dengan tulisan yang disimpan oleh wilayah lain.
7. Belum seorangpun berani mengklaim tulisan-tulisan incong yang dimiliki ditulis sebelum abad ke 15 masehi.
8. Dan lain-lain

Dengan banyaknya kelemahan tersebut, walauh tulisan incong Kerinci sudah diteliti oleh ahli-ahli sejarah yang berasal dari Belanda, dalam negeri dan negara lain sejak lama sekali, namun tidak satupun buku sejarah Kerinci bisa terbukukan berdasarkan sumber tulisan incong itu sendiri.
Jadi oleh sebab itu, kronologis peralihan perabadan atau zaman di dalam perjalanan sejarah Kerinci belum ada yang memenuhi kriteria minimal kebenaran sejarah, bahwa sejarah yang benar harus memupunyai minimal tig syarat: 1. Kapan terjadinya suatu peristiwa sejarah (waktu); 2. Siapa pimpinan dan pelaku sejarah pada saat peristiwa tersebut terjadi (orang atau kelompok orang); dan 3. Mana wilayah tempat kejadiannya (wilayah).
Sejarah yang mendekati kebenaran harus memenuhi tiga kriteria di atas, sedangkan sumber sejarah dari tulisan incong Kerinci terkena pada syarat ke 1 sehingga tidak dapat ditentukan kapan peristiwa itu terjadi, dan tidak pula dapat dirunut periodesasi peristiwa-peristiwa sejarah. Sebagian lagi ada yang hanya memiliki satu syarat saja misal tentu wilayahnya, tidak tentu waktu dan siapa pelaku sejarahnya.

Orang Kerinci sangat menghargai kebesaran kebudayaan nenek moyang mereka yang mampu membuat tulisan sendiri sebagai ‘lingua franca’ antar daerah pada hal banyak daerah-daerah lain yang begiku hebab dan maju dalam pendidikannya tidak mempunyai tulisan asli. Tulisan Incong Kerinci adalah salah satu kebesaran dan ketinggian budaya masyarakat Kerinci masa lalu, namun bukan berarti sebagai sumber sejarah yang benar. Tulisan-tuliisan incong itu perlu dihubungkan dengan peristiwa sejarah Kerinci khususnya dan budaya / sejarah masyarakat di lingkungan Kerinci sehingga bisa dijadikan sumber penulisan buku sejarah.
Pada sisi lain, perlu juga diingat bahwa dua kajian MALPU terakhir dan beberapa seri selanjutnya tidak dengan tujuan mengungkapkan Sejarah Kerinci, hanya ditujukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam masyarakat yang belum terjawab oleh masyarakat itu sendiri. Kalaupun harus mengungkapkan sejarah itu hanya merupakan konsekuensi dalam merunut kejadian-kejadidan masa lalu dan ternyata dilakukan kembali oleh kelompok masyarakat pada hal belum tentuk jelas duduk persoalannya.
Jadi oleh sebab itu, walaupun sedikit menyimpang dari topik permasalahan yang diajukan, demi untuk menjawab permasalahan yang masih mengganjal akan lebih bijaksana orang yang mungkin mengetahui tentang persoalan tersebut ikut sharing memecahkan pertanyaan dari masyarakat. Kalau kita biarkan saja “menggantung” terus, nanti bisa pula menjadi permasalahan yang semakin berat dan malah bisa menjadi sumber permusuhan antar masyarakat.

Baru-baru ini minggu ketiga Oktober 2017, admin MALPU sempat pulan ke Kerinci untuk melakukan suatu penelitian sehubungan dengan permasalahan masyarakat yang berinteraksi langsung dengan hutan adat, hutan lindung dan Taman Nasional Kerinci Seblat. Kebetulan pula dapat menghadiri Kenduri Sko di Desa Baru Lempur – Kerinci, dalam beberapa diskusi tidak langsung diantara tokoh-tokoh masyarakat dan adat mengemukakan pertanyaan-pertayaan mengenai pelaksanaan Kenduri Sko (Adat) di lingkungan Kerinci termasuk pelaksanaan Kenduri Sko di Pulau Sangkar. Kemudian juga sempati berinteraksi dengan beberapa orang adat dan tokoh masyarakat Pulau Sangkar baik yang datang menghadiri Kenduri Sko di Lempur atau yang berada di Jambi menanyakan khususnya yang sehubungan dengan pelaksanaan Kenduri Sko Pulau Sangkar baru-baru ini. Pertanyaan pertanyan itulah yang dicoba ditampilkan dalam kajian MALPU mulai dari seri 292 dan seterusnya. Pertanyaan-pertanyaan yang tidak mempunyai jawaban tidak ditampilkan dalam kajian MALPU, mungkin suatu hari akan didapat jawabannya, mungkin orang lain yang mendapat jawabannya atau mungkin selamanya menjadi ‘misteri sejarah’ yang tidak terungkapkan. Hanya waktulah yang menentukan.

Maaf kepada pembaca kalau menyimpang sedikit dari topik kajian, bukan pula tujuannya menyampaikan berkeluh-kesah, namun lebih mengedepankan ‘kearifan dan penghargaan’ terhadap tulisan yang kita jadikan sumber bacaan. Penghargaan terhadap jerih payah kajian orang lain adalah merupakan bentuk dari ‘kematangan emosional’ dan ‘kecerdasan intelektual’. ….. * (bersambung)

MEMBONGKAR ADAT LAMO PUSAKO USANG – Seri ke 294
Oleh: H. Aulia Tasman
Gelar Depati Muara Langkap

Publish: Riko Pirmando Gelar Sultan Indra Rajo Bungsu

     

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.