KEJAHATAN GENDER: MENILIK KEJAHATAN ATAS PEREMPUAN SEBAGAI ALAT POLITIK STRATEGIS DI ERA PEMILU


Oleh: Louise Anastacia
Departemen Administrasi Publik
Universitas Andalas

PEREMPUAN bisa menjadi sebuah pemimpin merupakan sebuah harapan yang ingin dicapai oleh seluruh partisipant perempuan di dunia melalui gerakan-gerakan keperempuan yang disebut dengan feminimisme.

Namun sayangnya, realitas yang ada sangat minim keinginan perempuan di seluruh dunia atas perwujudan pemimpin wanita di era milenial ini. Terbukti dengan masih kurang keterlibatan perempuan dalam memajukan Indonesia di Pemilihan Umum (PEMILU) 2024.

Meski lebih baik dari tahun pemilu ditahun 2019 kemarin namun nyatanya keterlibatan perempuan dianggap minim dan bahkan hanya formalitas berlaka untuk partai politik agar dapat melibatkan perempuan didalam sektor pemimpin politik di Indonesia.

​Permasalahan atas gender didalam ranah politik semakin gencar terjadi ketika 1 tahun kedepan dikarenakan menjadi tahun politik untuk menentukan pemimpin bangsa indonesia di masa depan.

Meski banyak pihak yang menyatakan tahun politik menjadi salah satu keuntungan bagi kaum perempuan menggandeng perjuangan perempuan untuk mendapatkan eksistensinya sebagai perempuan melalui isu-isu pemilu terkini namun tanpa perempuan sadari mereka tetap terbelangu dalam ranah partiarki yang sudah dibuat secara struktural karena nyatanya sejarah mengenai perjuangan perempuan tetap harus dipertahankan bagi mereka yang sadar akan peran perempuan yang hanya menjadi “Boneka Politik” atau “Alat Politik Feminis” bagi kaum maskulin di ranah pemerintah indonesia.

​Julukan jahat tersebut dibuat oleh penulis bukan hanya sekedar julukan tanpa data yang ada. Hal ini terbukti dengan data-data yang penulis dapatkan meski secara keseluruhan jumlah total 273 juta jiwa penduduk indonesia hampir sama rata antara laki-laki maupun perempuan dengan presentase real penduduk Laki-laki: 138.303.472 jiwa atau 50,5% dan penduduk perempuan: 135.576.278 jiwa atau 49,5% (Badan Pusat Statistik (BPS)) tetap saja angka ini tidak membuktikan sama terkait kesempatan atau peran perempuan di ranah politik dan membantu regulasi di Indonesia.

Bahkan, meski telah dibuatnya regulasi terkait kewajiban bagi partai politik untuk mengajak kaum perempuan dalam kursi legislatif sebanyak 30% nyatanya hingga saat ini hanya formalitas dan implementasi atas perbantuan regulasi yang memihak kaum perempuan belm terselesaikan dengan baik. Hal ini diperparah dengan Regulasi yang memihak kaum perempuan hanya sebesar 2 Regulasi dalam Polegnasdan hingga diujung tahun 2023 belum terselesaikan dengan baik oleh legislatif perempuan untuk disahkan.

​Permasalahan di pemilu 2024 kedepan atas perempuan juga diperparah dengan adanya praktik-praktik kejahatan dalam gender yang dilakukan berbagai pihak dan tidak disadari oleh kaum perempuan. Praktik-praktik ini bisa kita lihat dengan menjadi perempuan sebagai Brand Pemilu salah satu partai politik atau menggunakan perempuan sebagai penyanyi dangdut dan bahkan disawer dalam pesta rakyat.

Hal ini mengembalikan citra perempuan yang sejatinya tidak dibenarkan dengan menjadi pemanis atau penikmat mata dalam kegiatan-kegiatan kampanye tersebut. Permasalahan pemilu yang diprediksi bahkan terjadi juga adalah perdagangan manusia berupa perempuan sebagai salah satu transaksi politik untuk menyukseskan adanya pemilu ditahun 2024 yang seharusnya hal ini bisa dihilangkan namun kembali lagi masalah akan perempuan merupakan masalah sturuktural yang tidak selesai terus menerus tanpa pencegahan dan juga edukasi kepada segala pihak.

​Permasalahan politik atas perempuan yang dijadikan Boneka sejatinya jika ditilik bersama-sama dalam politik dinasti pun perempuan selalu menjadi pengganti dari kepemimpinan suaminya. sehingga apabila perempuan menjadi pemimpin ketika suaminya sudah mengalami 2 periode dan tidak bisa mencalonkan kembali maka dalam politik dinasti perempuan yang akan menjadi penggantinya. Hal ini juga yang nantinya menjadi persoalan apabila politik dinasti ini berhasil terjadi dan mengalami keruntuhan berupa indikasi korupsi maka pihak perempuanlah yang menjadi sasaran massa padahal didalam sistem patiarki perempuan tidak dapat menolak perintah suami yang tentu saja untuk maju didalam ranah politik tentu saja bisa bukan karena kemauannya hingga menyebabkan dirinya juga terjerumus dalam kasus korupsi.

​Permasalahan politik atas perempuan juga menjadi persoalan serius dikarenakan perempuan juga yang akan maju menjadi anggota legislatif akan mengalami berbagai persoalan termasuk kekuatan massa yang meremehkan kemampuan atas diri perempuan. Paradigma dimasyarakat yang selalu beranggapan bahwa perempuan tidak dapat menjadi konseptor maupun eksekutor dalam pembuatan regulasi dan juga wakil rakyat di parlemen.

Hal ini yang seharusnya kita bersama-sama hilangkan dikarenakan dengan adanya paradigma ini perempuan di Indonesia tidak akan maju karena dukungan yang diharapkan menjadi kejahatan hate speech yang dilakukan oleh rakyat Indonesia.

​Praktik boneka politik atas perempuan di tahun pemilu ini sejatinya merupakan kejahatan gender yang harus diberantas dikarenakan dengan adanya sifat dari perempuan yang memiliki ketidakberdayaan atas hidupnya dibeberapa sektor karena praktek partiarki ini seharusnya menyadarkan kita semua untuk bersama-sama memberantas hal tersebut.

Namun sayangnya, hingga saat ini praktik-praktik diatas dianggap sepele dan perempuan yang menyuarakan hal ini akan dianggap terlalu memiliki perasaan atas tindakan yang sejatinya merupakan kejahatan. Banyak cara yang harus bersama-sama kita berikan atas praktik ini yaitu dengan mengupayakan pembelajaran secara masif berupa ilmu kepolitik, strategis, dan juga penyadaran atas kejahatan tersebut. Lalu, menggerakan massa perempuan secara masif juga untuk sadar dan membantu rekan perempuan di seluruh indonesia atas tindakan kejahatan tersebut.

Maka, gerakan feminisme terus perlu dilakukan secara menyeluruh karena isu ini terus berlangsung sehingga bukan kesetaraan sejatinya yang dibutuhkan perempuan namun keadilan dan juga pemahaman gender atas tindakan-tindakan kaum maskulin di Indonesia.(***)

     

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.